MAKALAH
KEBIJAKAN DAN
PERUNDANG-UNDANGAN KEHUTANAN
“ Kebijakan Pengelolaan SDH Pra Kemerdekaan “
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kebijakan
Dan Perundang-Undangan Kehutanan
Disusun
Oleh :
Rizki
Nur Apriliani
FAKULTAS
KEHUTANAN
UNIVERSITAS
WINAYA MUKTI
2015
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh
Puji
syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-NYA
sehingga maka kami dapat menyusun makalah. Shalawat beriring salam tidak lupa
kami sampaikan kepada nabi Muhammad S.A.W yang selalu mengajarkan kita untuk
senantiasa menuntut ilmu.
Makalah
ini berjudul “
Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Hutan Pra Kemerdekaan ” yang disusun
dari berbagai sumber tulisan. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah Kebijakan dan Per-UU Kehutanan.
kami
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah
membantu selesainya penyusunan makalah ini.
kami
menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami
sebagai penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
segala pihak. Namun, besar harapan kami semoga makalah ini berguna bagi penulis
dan segala pihak yang membacanya. Aamiin.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh.
Tanjungsari,
10 September 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Hlm
KATA PENGATAR
........................................................................................................................
|
i
|
DAFTAR ISI .......................................................................................................................
|
ii
|
Bab I Pendahuluan
|
|
1.1.
Latar Belakang .......................................................................................................
1.2.
Rumusan Masalah
..................................................................................................
1.3.
Tujuan ....................................................................................................................
|
1
1
1
|
Bab II Pembahasan
|
2
|
2.1 Kondisi Hutan Pada Zaman Pra Kemerdekaan
.......................................................
2.2 Kebijakan Pengelolaan SDH Pra Kemerdekaan .....................................................
2.2.1 Pada Massa Sebelum Penjajahan
...................................................................
2.2.2 Pada Massa Penjajahan...................................................................................
|
2
3
3
5
|
Bab III Penutup
|
|
3.1. kesimpulan
............................................................................................................
|
11
|
3.2. Saran
......................................................................................................................
|
11
|
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia dikenal
sebagai negara yang memiliki kawasan hutan terluas kedua di dunia setelah
Brazilia. Namun demikian, sejak tiga dekade terakhir ini kawasan hutan di
Indonesia mengalami degradasi yang sangat serius dari segi kuantitas maupun
kualitasnya. Hal ini selain karena jumlah penduduk yang mengandalkan hutan
sebagai sumber penghidupan terus meningkat dari tahun ke tahun, juga terutama
karena pemerintah.
Hukum kehutanan
merupakan masalah yang sangat menarik untuk dikaji dan di analisis karena berkaitan dengan
dengan bagaimana norma, kaedah atau peraturan perundang-undangan dibidang
kehutanan dapat dijalankan dan dilaksanakan dengan baik.Kehutanan yang asal
adalah hutan merupakan karunia dan amanah dari tuhan yang maha esa, merupakn
harta kekeayaan yang diatur oleh pemerintah, memberikan kegunaan bagi umat
manusia, oleh sebab itu wajib di jaga, ditangani, dan digunakan secara maksimal
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat secara berkesinambungan.Hutan sebagai
salah satu penentu penyangga kehidupan dan sumber kesejahteraan rakyat, semakn
menurun keadaannya, oleh sebab itu eksistensinya harus dijaga secara terus
menerus, agara tetap abadi, dan ditangani dengan busi pekerti yang luhur,
berkeadilan, berwibawa, transparan, dan professional serta bertanggung jawab.
1.2
Rumusan Masalah
a.
Bagaimana kondisi
hutan pada massa pra kemerdekaan ?
b.
Bagaimana kebijakan
dan Per-UU dalam pengelolaan SDH pra kemerdekaan?
1.3 Tujuan
a.
Mengetahui kondisi
hutan pada massa pra mekerdekaan
b.
Mengetahui kebijakan
dalam pengelolaan SDH pra kemerdekaan
BAB
II
ISI
2.1 Kondisi Hutan Indonesia Pada Zaman
Pra Kemerdekaan
Hutan tropis di Indonesia menurut
berbagai literatur dinyatakan sebagai emas hijau yang merupakan bagian dari
rangkaian zamrud khatulistiwa dengan nilai keindahan dan kekayaan yang luar
biasa. Sumberdaya hutan ini merupakan hutan hujan tropis terbesar ketiga
setelah Zaire dan Brazil. Kekayaan alam yang dimiliki hutan tropis Indonesia
sangat berlimpah terutama dalam hal biodiversitasnya. Kelimpahan dan keunikan
biodiversitas yang dimiliki ternyata tidak hanya bermanfaat bagi bangsa
Indonesia saja melainkan juga bermanfaat bagi seluruh masyarakat di dunia
terutama dalam perannya sebagai penyangga ekosistem planet bumi.
Sebagai negara kepulauan, penyebaran
aneka macam biografi Indonesia sangat dipengaruhi oleh ekosistem Indomalaya di
bagian barat dan ekosistem Austratralia di bagian timur. Demikian pula,
beberapa pulau kecil yang terpisah dari daratan yang luas membentuk suatu ekosistem
khas dan spesifik serta menyatu dengan penduduk yang bermukim dan menghuni
wilayah tersebut. Keadaan ini menjadikan Indonesia sebagai sebuah megaspesies
yang sangat potensial, strategis dan multidimensi. Beberapa fakta melimpahnya
kekayaan alam Indonesia dapat ditunjukkan oleh tingginya prosentase kekayaan
alam yang dimiliki dibandingkan dengan wilayah lain di dunia.
INDONESIA
menempati posisi ketiga sebagai negara yang memiliki hutan tropis terluas
setelah Brazil dan Republik Kongo (Tolo 2012). Pada tahun 2009, total
luas hutan Indonesia 90,1 juta hektar (Brockhaus et.al 2012: 32). Namun,
keberadan hutan Indonesia terus terancam oleh deforestasi dan degradasi hutan
yang disebabkan oleh kebakaran hutan, legal logging dan illegal
logging (Noordwijk et.al 2008, Tolo 2012). Deforestasi dan degradasi
hutan di Indonesia ditengarai sebagai akibat dari dinamika kebijakan pada
sektor kehutanan yang menyingkirkan peran masyarakat (Tolo 2012) dan cenderung
mengelola hutan dengan menggunakan pendekatan ekonomi semata[1]
(Awang 2009). Kerusakan hutan Indonesia bukanlah fakta baru melainkan sudah
menyejarah sejak jaman kerajaan hingga saat ini.
2.2
Kebijakan Pengelolaan SDH Pra Kemerdekaan
Pembahasan perkembangan hukum kehutanan Indonesia dapat dikategorikan
dalam tiga historika, yaitu pengaturan kehutanan sebelum penjajahan, masa
penjajahan Pemerintah Hindia Belanda, dan masa setelah kemerdekaan.
2.2.1 Pada Massa Sebelum Penjajahan
Hutan Indonesia
sudah menjadi sumber daya alam yang dieksploitasi sejak jaman kerajaan. Di
Jawa, eksploitasi hutan terjadi sejak tahun 800. Di salah satu dinding candi
Borobudur ada lukisan kapal yang konon sudah berlayar sampai ke India dan
Mesopotamia. Candi Borobudur didirikan selama 250 tahun dan rampung pada abad
ke-10 (Simon 2008). Dengan ini disimpulkan bahwa penebangan kayu sudah terjadi
sejak tahun 800, bahkan sebelumnya. Sementara itu, dalam cerita kronikel sejarah
kerajaan Mataram abad ke-16 dan 17 yang berjudul ‘Babad Tana Jawi,’ yang bisa
diterjemahkan sebagai ‘Sejarah Tanah Jawa’ atau “Pembersihan Tanah Jawa”
diinterpretasi oleh beberapa kalangan sebagai proses pembukaan tata ruang pada
tempat lain untuk memindahkan penduduk agar lebih mudah dikontrol oleh
kerajaan. Dalam proses pembukaan tata ruang ini tentunya terjadi eksploitasi
hutan (Hidayat 2008).
Pembangunan ibu kota Majapahit di Mojokerto, Jawa Timur,
dilakukan dengan membabat hutan jati. Pada tahun 1200, terdapat banyak industri
kapal yang menyebabkan deforestasi hutan di Jawa. Industri kapal ini umumnya
dikuasai oleh pengusaha Cina di sepanjang pantai utara pulau Jawa yang
terbentang mulai dari Pasuruhan di Jawa Timur sampai di Tegal Jawa Tengah. Perusahan
kapal pada masa kerajaan Majapahit sangat penting untuk melakukan hubungan
dagang dengan Cina, Champa, Siam, Burma, India dan Madagaskar di Afrika Timur
(Simon 2008).
Pada masa sebelum
penjajahan Belanda, persoalan kehutanan diatur oleh hokum adat masing-masing
komunitas masyarakat. Sekalipun pada masa itu tingkat kemampuan tulis baca
anggota masyarakatnya masih rendah, tetapi dalam setiap masyarakat tersebut
tetap ada hukum yang mengaturnya. Von Savigny mengajarkan bahwa hukum mengikuti
jiwa/semangat rakyat (volkgeist) dari masyarakat tempat hukum itu
berlaku. Karena volkgeist masing-masing masyarakat berlainan, maka hukum
masing-masing masyarakat juga berlainan.[1][3] Hukum yang
dimaksudkan dan dikenal pada masa itu adalah hokum adat. Iman Sudiyat menyimpulka,
Hukum Adat itu hukum yang terutama mengatur tingkah laku manusia Indonesia
dalam hubungannya satu sama lain, baik berupa keseluruhan kelaziman, kebiasaan
dan kesusilaan yang benar-benar hidup dalam masyarakat adat karena dianut dan
dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan
keseluruhan peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan
dalam keputusan-keputusan para penguasa adat.[2][4]
Era zaman sebelum
masuknya pengaruh asing (Zaman Malaio Polinesia), kehidupan masyarakat di
nusantara ini mengikuti adat istiadat yang dipengaruhi oleh alam yang serba
kesaktian.[3][5] Alam
kesaktian tidak terletak pada alam kenyataan yang dapat dicapai dengan
pancaindera, melainkan segala sesuatunya didasarkan pada apa yang dialami
menurut anggapan semata-mata terhadap benda kesaktian, paduan kesaktian,
sari kesaktian, sang hyiang kesaktian, dan pengantara kesaktian.[4][6] Pada masa itu, pengantara
kesaktian memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakatnya, termasuk dalam
proses menemukan dan memberikan hukuman.
Sedangkan pada zaman
Hindu, tepatnya dimasa Raja Tulodong, Kerajaan Mataram yang meliputi wilayah
Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan ibukotanya Medang (di Grobongan). Raja
tersebut pernah mengeluarkan titah pada tahun 919 M yang mengatur hak raja atas tanah, bahwa tanah hutan yang
diperlukan raja ditentukan oleh raja sendiri batasnya, tetapi apabila
menyangkut tanah sawah hak milik rakyat maka raja harus membelinya lebih
dahulu.[5][7] Hemat kami,
inilah awal mulanya pengakuan resmi bahwa hutan dan segala isinya berada di
bawah kekuasaan raja. Sejak masa tersebutlah dikenal istilah hutan kerajaan,
yang kemudian terus populer di sebagian besar wilayah nusantara.
Berbeda halnya
dengan di Aceh, setelah masuknya Agama Islam pada tahun 1078 M di Peurlak dan
Kerajaan Pasai, maka semua tatanan kehidupan masyarakatnya dipengaruhi oleh
ajaran agama Islam, termasuk tatanan hukumnya. Hak tertinggi dalam penguasaan
tanah dan hutan di Aceh bukanlah pada raja, melainkan pada Allah yang Maha
Kuasa. Semua tanah dan hutan dalam wilayah kemukiman di Aceh selama belum
berada dalam kekuasaan seseorang dinamakan tanoh hak kullah (hak Allah)
atau uteun poeteu Allah. Setiap orang warga masyarakatnya dapat dengan
leluasa menebang kayu sekedar untuk bahan perumahannya, mengambil hasil hutan,
berburu binatang dan mencari ikan. Apabila hal ini dilakukan sebagai mata
pencaharian maka ada kewajiban memberikan sebagian hasil untuk desanya.
2.2.2 Pada Massa Penjajahan
Didalam masa penjajahan terdapat 3 (tiga) masa antara lain:
A.Masa
Penjajahan oleh VOC (1602 – 1799)
Sebelum dijajah oleh Pemerintah
Hindia Belanda, nusantara ini, terutama Jawa dan Madura, berada dibawah
penjajahan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC), yang lebih populer
dengan sebutan kompeni. Kompeni ini melakukan penjajahan untuk mendapatkan
komoditas dagang dengan biaya dan harga murah. Selain rempah-rempah, lada dan
kopi, hasil hutan pun, terutama kayu jati Jawa juga menjadi andalan komoditi
perdagangan mereka.Pada masa sebelum VOC berkuasa (1619), para raja di Jawa
masih mempunyai kekuasaan dan kepemilikan atas tanah dan hutan di wilayah
pemerintahannya. Raja mendistristribusikan tanah kepada pegawai-pegawai istana
untuk membiayai kegiatan mereka dan sebagai pengganti gaji yang harus
diterimanya. Tanah yang dibagikan oleh raja dan pejabat-pejabat istana kepada
penduduk berfungsi sebagai sumber pendapatan dan sumbangan tenaga kerja untuk
kerajaan.[6][9] Pada waktu VOC mulai terlibat dalam
kegiatan penebangan kayu (timberm extraction), para pekerja dari
penduduk desa sekitar hutan sudah mempunyai ketrampilan yang tinggi. Karenanya,
VOC tinggal mengatur dan memanfaatkan ketrampilan penduduk tersebut untuk
meningkatkan intensitas penebangan kayu agar lebih banyak uang yang diperoleh
VOC.
Sejak tahun 1620 kompeni mengeluarkan larangan
penebangan kayu tanpa izin, dan diadakan pemungutan cukai atas kayu dan hasil
hutan. Besarnya cukai dimaksud adalah sepuluh persen (10%). Pada tanggal 10 Mei
1678, kompeni memberikan izin kepada saudagar Cina yang bernama Lim Sai Say
untuk menebang kayu di seluruh daerah sekitar Betawi, dan mengeluarkannya dari
hutan untuk keperluan kota, asal membayar cukai
sepuluh persen. Sekitar tahun 1760, hutan
daerah Rembang sebagian besar sudah ditebang habis oleh kompeni. Kemudian
kompeni memerintahkan orang-orangnya dari Rembang untuk menebang kayu di Blora,
daerah kekuasaan susuhunan. Pada masa itu, kompeni menganggap bahwa sumber daya
alam (hutan dan semua lahannya), baik yang diperolehnya karena penaklukan atau
karena perjanjian adalah menjadi kepemilikannya. Suatu keputusan yang dicantumkan
dalam Plakat tanggal 8 September 1803, yang
berlaku untuk daratan dan pantai pesisir Timur
Laut Pulau Jawa mulai dari Cirebon msampai ke pojok Timur, yang menegaskan
bahwa semua hutan kayu di Jawa harus dibawah pengawasan kompeni sebagai hak
milik (domein) dan hak istimewa raja dan para pengusaha (regalita).
Tidak seorang pun, terutama terhadap hutan yang sudah diserahkan oleh Raja
kepada kompeni, boleh menebang kayu, apalagi menjalankan suatu tindakan
kekuasaan. Kalau larangan ini dilanggar, maka pelanggarnya akan
dijatuhi hukuman badan.[7][10]Dari gambaran historis di atas, dapat
dikemukakan beberapa hal. Pertama, sejak menguatnya kekuasaan VOC di
Jawa telah menimbulkan implikasi pada beralihnya
pemilikan dan penguasaan (domein)
terhadap tanah (lahan) dari domein raja menjadi domeinnya
kompeni. Raja tak lagi berdaya atas wilayah hutan dalam kerajaannya.Namun pun
demikian, hasil hutan berupa kayu masih dapat diperuntukkan bagi kepentingan
raja dan bupati. Sedangkan rakyat jelata, tidak ada lagi hak atas hutan
disekitarnya (gemeente).
Kedua, pada masa kompeni sudah ada peraturan dan penerapan hukum kehutanan
bagi masyarakat. Pemberlakuan hukum kehutanan pada masa itu lebih diutamakan
untuk kepentingan kompeni dalam mengeksploitasi dan mengeksplorasi sumber daya
alam.Pada waktu itu ada anggapan, bahwa hak rakyat atas hutan jati hanya
dilimpahkan kepada kelompok orang tertentu, tidak kepada setiap orang. Hal ini
seperti tertuang dalam Plakat tanggal 30 Oktober 1787 yang memberi izin kepada
awak hutan (boskhvolkenen), yang bekerja sebagai penebang kayu untuk
kepentingan kompeni.
Ketiga, merujuk pada Surat Keputusan Kompeni tanggal
10 Mei 1678 tentang pemberian izin menebang kayu kepada saudagar Cina, dapatlah
dipahami bahwa sejak pemerintahan zaman kompeni sudah ada kolaborasi antara
etnis Cina dengan para penguasa dalam hal eksploitasi sumber daya hutan,
terutama kayu. Mengingat telah terlalu lama etnis Cina berkiprah dalam bidang
perhutanan, maka wajar saja kalau sebagian besar izin HPH (hak pemanfaatan hasil
hutan) dipegang oleh kelompok mereka hingga sekarang ini.Banyaknya kasus
kerusakan hutan di berbagai daerah di nusantara ini, terindikasi kuat akibat
ulah para pengusaha tersebut, yang senyatanya dikuasai oleh kalangan
nonpribumi. Karena hutan tempat resapan air telah digunduli, maka pribumi,
masyarakat adat di pedesaan dan kelompok marginal perkotaan seringkali harus
menjadi korban banjir.
Keempat, yang penting dikemukakan dalam konstelasi hukum kita, adalah
musnahnya hak ulayat (wewengkon) atas penguasaan hutan desa oleh
masyarakat desa di Jawa selama penjajahan VOC. Hutan di wewengkon desa
tertentu hanya boleh ditebang atau dimanfaatkan oleh warga dari desa yang
bersangkutan. Orang dari desa lain, kalau hendak mengambil kayu dari
hutan, harus minta izin kepada demang (petinggi) desa tersebut.
B. Masa Penjajahan Hindia
Belanda (1850 – 1942)
Sekalipun pengaturan dalam bentuk
peraturan tertulis tentang kehutanan sudah ada sejak berkuasanya VOC. Tetapi
secara lebih meluas, momentum awal pembentukan hukum tentang kehutanan di
Indonesia, dapat dikatakan dimulai sejak tanggal 10 September 1865, yaitu
dengan diundangkannya pertama sekali Reglemen tentang Hutan (Boschreglement)
1865. Reglemen ini merupakan awal mula adanya
pengaturan secara tertulis upaya konservasi sumber daya hayati.
Boschreglement 1865 yang merupakan
produk hukum awal yang mengacu kepada azas kekekalan hutan. Pada intinya
diundangkan agar dapat dicegah tindakan liar penebangan hutan Jawa yang telah
mengancam kelestariannya.Sesudah yang pertama tersebut disusul penetapan
Boschreglement yang kedua pada 1874 - Dengan produk peraturan
perundang-undangan di bidang kehutanan ini - mulai dilakukan pembagian Kesatuan
Hutan di seluruh Jawa. Dalam masa ini pula penataan kawasan hutan mulai dapat ditetapkan
meskipun belumlah sampai terinci.Yaitu berawal dari tindakan penetapan batas
Kesatuan Hutan yang dinamakan boschdistrict dengan landasan ordonansi 10
September 1874 Staatsblad No.215 dan mulai berlaku bersamaan dengan Reglement
hutan baru pada tanggal 3 Mei 1875 (Stsbl.no.84)
Kawasan hutan jati di pulau Jawa dan pulau Madura dibagi-bagi menjadi 13 Distrik Hutan (J.W.H. Cordes, Inspekteur b.h. Boschwezen in Ned. Ind. De Djatibosschen op Jawa 1881 hal.255 – pada 1887 meletakan jabatan Chef v.h. Indisch Boschwezen), sebagai berikut:
1. Karesidenan Banten dengan Kabupaten Cianjur ( Karesidenan Priangan);
Kawasan hutan jati di pulau Jawa dan pulau Madura dibagi-bagi menjadi 13 Distrik Hutan (J.W.H. Cordes, Inspekteur b.h. Boschwezen in Ned. Ind. De Djatibosschen op Jawa 1881 hal.255 – pada 1887 meletakan jabatan Chef v.h. Indisch Boschwezen), sebagai berikut:
1. Karesidenan Banten dengan Kabupaten Cianjur ( Karesidenan Priangan);
2. Karesidenan Priangan, kecuali Kabupaten Cianjur, dengan Karesidenan
Karawang dan Cirebon;
3. Karesidenan Tegal dan Pekalongan;
4. Karesidenan Semarang;
5. Karesidenan Kedu, Bagelen dan Banyumas;
6. Karesidenan Jepara;
7. Kabupaten Rembang dan Blora dan Karesidenan Rembang;
8. Kabupaten Tuban dan Bojonegoro dari Karesidenan Rembang;
9. Karesidenan Surabaya dan Pasuruan;
10. Karesidenan Probolinggo, Besuki dan Banyuwangi;
11. Karesidenan Kediri;
12. Karesidenan Madiun, kecuali Kabupaten Ngawi; dan
13. Kabupaten Ngawi dari Karesidenan Madiun dan Karesidenan Surakarta.
Dalam kawasan boschdistrict Priangan, Krawang, Banyumas, Bagelen dan Probolinggo-Besuki terdapat sebagian besar hutan rimba. Sedangkan hutan jati dalam 10 boschdistrict lainnya terdapat lebih kurang 600 ribu hektare.
Du Quesne van Bruchem (Tectona 1935 hal. 92) menceritakan pekerjaan panitia yang mengurus/memeriksa hutan jati di daerah hutan Pati (ex boschdistrict Jepara) dalam tahun 1776 – bahwa isi hutan jati sejak 1776 sampai dengan tahun 1925 (kurun waktu 149 tahun) mengalami pengurangan luas mencapai lebih kurang 75 %. Akan tetapi sempat muncul pula kasus anomali dalam pencatatan tentang jumlah luas hutan jati, yaitu dicatat pada tahun 1874 luasnya hanya 600 ribu hektare, namun hasil pencatatan ulang pada tahun 1940 justru menyebutkan jumlah luas hutan jati mencapai 824.049 hektare.Sedangkan oleh Ham – dalam notanya – menggambarkan riwayat hutan boschdistrict Probolinggo – Besuki: bahwa di masa kekuasaan kumpeni di sisi Selatan kawasan hutan tersebut pernah terjadi banyak pengrusakan dan pembukaan kawasan hutan. Sekitar tahun 1770, tulis Ham, tentara kumpeni melakukan ekspedisi dari Banyuwangi ke Jember melalui lereng Selatan Gunung Raung.
3. Karesidenan Tegal dan Pekalongan;
4. Karesidenan Semarang;
5. Karesidenan Kedu, Bagelen dan Banyumas;
6. Karesidenan Jepara;
7. Kabupaten Rembang dan Blora dan Karesidenan Rembang;
8. Kabupaten Tuban dan Bojonegoro dari Karesidenan Rembang;
9. Karesidenan Surabaya dan Pasuruan;
10. Karesidenan Probolinggo, Besuki dan Banyuwangi;
11. Karesidenan Kediri;
12. Karesidenan Madiun, kecuali Kabupaten Ngawi; dan
13. Kabupaten Ngawi dari Karesidenan Madiun dan Karesidenan Surakarta.
Dalam kawasan boschdistrict Priangan, Krawang, Banyumas, Bagelen dan Probolinggo-Besuki terdapat sebagian besar hutan rimba. Sedangkan hutan jati dalam 10 boschdistrict lainnya terdapat lebih kurang 600 ribu hektare.
Du Quesne van Bruchem (Tectona 1935 hal. 92) menceritakan pekerjaan panitia yang mengurus/memeriksa hutan jati di daerah hutan Pati (ex boschdistrict Jepara) dalam tahun 1776 – bahwa isi hutan jati sejak 1776 sampai dengan tahun 1925 (kurun waktu 149 tahun) mengalami pengurangan luas mencapai lebih kurang 75 %. Akan tetapi sempat muncul pula kasus anomali dalam pencatatan tentang jumlah luas hutan jati, yaitu dicatat pada tahun 1874 luasnya hanya 600 ribu hektare, namun hasil pencatatan ulang pada tahun 1940 justru menyebutkan jumlah luas hutan jati mencapai 824.049 hektare.Sedangkan oleh Ham – dalam notanya – menggambarkan riwayat hutan boschdistrict Probolinggo – Besuki: bahwa di masa kekuasaan kumpeni di sisi Selatan kawasan hutan tersebut pernah terjadi banyak pengrusakan dan pembukaan kawasan hutan. Sekitar tahun 1770, tulis Ham, tentara kumpeni melakukan ekspedisi dari Banyuwangi ke Jember melalui lereng Selatan Gunung Raung.
Peraturan
perundang-undangan pada waktu zaman Hindia Belanda, bahwa pertama kali diatur
adalah mengenai Perikanan, mutiara, dan perikanan bunga karang, yaitu
Parelvisscherij, Sponservisscherijordonantie (Stb. 1916 No. 157) dikeluarkan di
Bogor oleh Gubernur Jenderal Indenburg pada tanggal 29 Januari 1916, dimana
ordonansi tersebut memuat peraturan umum dalam rangka melakukan perikanan siput
mutiara, kulit mutiara, teripang dan bunga karang dalam jarak tidak lebih dari
tiga mil-laut inggris dari pantai-pantai Hindia Belanda (Indonesia). Yang
dimaksud dengan melakukan perikanan terhadap hasil laut ialah tiap usaha dengan
alat apapun juga untuk mengambil hasil laut dari laut tersebut Ordonansi yang
sangat penting bagi lingkungan hidup adalah Hinder-ordonnantie (Stbl. 1926 No.
226, yang diubah/ditambah, terakhir dengan Stbl. 1940 No. 450), yaitu Ordonansi
Gangguan.
Di dalam Pasal 1 Ordonansi Gangguan ditetapkan larangan mendirikan tanpa izin tempat-tempat usaha yang perincian jenisnya dicantumkan dalam ayat (1) pasal tersebut, meliputi 20 jenis perusahaan. Di dalam ordonansi ini ditetapkan pula berbagai pengecualian atas larangan ini.
Di bidang perusahaan telah dikeluarkan Bedrijfsreglemenigsordonnantie 1934 (Stbl. 1938 No. 86 jo. Stbl. 1948 No. 224). Ordonansi yang penting di bidang perlindungan satwa adalah Dierenbeschermingsordonnantie (Stbl. 1931 No. 134), yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1931 untuk seluruh wilayah Hindia Belanda (Indonesia).
Berdekatan dengan ordonansi ini adalah peraturan tentang uruan, yaitu Jachtordonnantie 1931 (Stb1.1931 No.133) dan Jachtordonnantie Java en Madoera 1940 (Stb1.1940 No.733) yang berlaku untuk Jawa dan Madura sejak tanggal 1 Juli 1940.
Ordonansi yang mengatur perlindungan alam adalah Natuurhermingsordonnantie 1941 (Stbl. 1941 No. 167). Ordonansi ini mencabut ordonansi yang mengatur cagar-cagar alam dan suaka-suaka margasatwa, yaitu Natuurmonumenten en reservatenordonnantie 1932 (Stbl. 1932 No. 17) dan menggantikanya dengan Natuurbeschermingsordonnantie 1941 tersebut.
Ordonansi tersebut dikeluarkan untuk melindungi kekayaan alam di Hindia Belanda (Indonesia). Peraturan-peraturan yang tercantum di dalamnya berlaku terhadap suaka-suaka alam atau Natuur monumenten, dengan pembedaan atas suaka-suaka margasatwa dan cagar-cagar alam.
Keempat ordonansi di bidang perlindungan alam dan satwa tersebut di atas telah dicabut berlakunya dengan diundangkannya UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pada tanggal 10 Agustus 1990.
Dalam hubungan dengan pembentukan kota telah dikeluarkan Stadsvormingsordonnantie (Stbl. 1948 No. 168), disingkat SVO, yang mulai berlaku pada tanggal 23 Juli 1948. Yang menarik di sini adalah bahwa Stadsvormingsordonnantie diterbitkan pada tahun 1948, padahal Republik Indonesia diproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Penjelasannya adalah bahwa SVO tersebut ditetapkan di wilayah yang secara de facto diduduki Belanda.
Berbagai ordonansi tersebut di atas telah dijabarkan lebih lanjut dalam verordeningen, seperti misalnya: Dierenbeschermingsverordening (Stbl. 1931 No. 266); berbagai Bedrijfsreglementeringsverordeningen yang meliputi bidang-bidang tertentu seperti pabrik sigaret, pengecoran logam, pabrik es, pengolahan kembali karet, pengasapan karet, perusahaan tekstil; Jachtveiordening Java en Madura 1940 (Stbl. 1940 No. 247 jo. Stbl. 1941 No. 51); dan Stadsvormingsverordening, disingkat SW (Stbl. 1949 No. 40). Begitu pula terdapat peraturan tentang air, yaitu Algemeen Waterreglement (Stbl. 1936 No. 489 jo. Stbl. 1949 No. 98).
Di dalam Pasal 1 Ordonansi Gangguan ditetapkan larangan mendirikan tanpa izin tempat-tempat usaha yang perincian jenisnya dicantumkan dalam ayat (1) pasal tersebut, meliputi 20 jenis perusahaan. Di dalam ordonansi ini ditetapkan pula berbagai pengecualian atas larangan ini.
Di bidang perusahaan telah dikeluarkan Bedrijfsreglemenigsordonnantie 1934 (Stbl. 1938 No. 86 jo. Stbl. 1948 No. 224). Ordonansi yang penting di bidang perlindungan satwa adalah Dierenbeschermingsordonnantie (Stbl. 1931 No. 134), yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1931 untuk seluruh wilayah Hindia Belanda (Indonesia).
Berdekatan dengan ordonansi ini adalah peraturan tentang uruan, yaitu Jachtordonnantie 1931 (Stb1.1931 No.133) dan Jachtordonnantie Java en Madoera 1940 (Stb1.1940 No.733) yang berlaku untuk Jawa dan Madura sejak tanggal 1 Juli 1940.
Ordonansi yang mengatur perlindungan alam adalah Natuurhermingsordonnantie 1941 (Stbl. 1941 No. 167). Ordonansi ini mencabut ordonansi yang mengatur cagar-cagar alam dan suaka-suaka margasatwa, yaitu Natuurmonumenten en reservatenordonnantie 1932 (Stbl. 1932 No. 17) dan menggantikanya dengan Natuurbeschermingsordonnantie 1941 tersebut.
Ordonansi tersebut dikeluarkan untuk melindungi kekayaan alam di Hindia Belanda (Indonesia). Peraturan-peraturan yang tercantum di dalamnya berlaku terhadap suaka-suaka alam atau Natuur monumenten, dengan pembedaan atas suaka-suaka margasatwa dan cagar-cagar alam.
Keempat ordonansi di bidang perlindungan alam dan satwa tersebut di atas telah dicabut berlakunya dengan diundangkannya UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pada tanggal 10 Agustus 1990.
Dalam hubungan dengan pembentukan kota telah dikeluarkan Stadsvormingsordonnantie (Stbl. 1948 No. 168), disingkat SVO, yang mulai berlaku pada tanggal 23 Juli 1948. Yang menarik di sini adalah bahwa Stadsvormingsordonnantie diterbitkan pada tahun 1948, padahal Republik Indonesia diproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Penjelasannya adalah bahwa SVO tersebut ditetapkan di wilayah yang secara de facto diduduki Belanda.
Berbagai ordonansi tersebut di atas telah dijabarkan lebih lanjut dalam verordeningen, seperti misalnya: Dierenbeschermingsverordening (Stbl. 1931 No. 266); berbagai Bedrijfsreglementeringsverordeningen yang meliputi bidang-bidang tertentu seperti pabrik sigaret, pengecoran logam, pabrik es, pengolahan kembali karet, pengasapan karet, perusahaan tekstil; Jachtveiordening Java en Madura 1940 (Stbl. 1940 No. 247 jo. Stbl. 1941 No. 51); dan Stadsvormingsverordening, disingkat SW (Stbl. 1949 No. 40). Begitu pula terdapat peraturan tentang air, yaitu Algemeen Waterreglement (Stbl. 1936 No. 489 jo. Stbl. 1949 No. 98).
C. Masa Penjajahan Jepang (1942-1945)
Begitu menduduki kepulauan nusantara dan
mengusir kekuasaan kolonial Belanda yang telah menanamkan pengaruh berabad-abad
lamanya, Pemerintah Militer Jepang membagi daerah yang didudukinya ini menjadi
3 (tiga) wilayah komando, yaitu (1) Jawa dan Madura, (2) Sumatera, dan (3)
Indonesia bagian Timur. Pada tanggal 7 Maret 1942 Pemerintah Militer Jepang
mengeluarkan Undang-undang (Osamu Sirei) Tahun 1942 Nomor 1 yang berlaku
untuk Jawa dan Madura, dimaklumatkan bahwa seluruh wewenang badan-badan
pemerintahan dan semua hukum serta peraturan yang selama ini berlaku, tetap
dinyatakan berlaku kecuali apabila bertentangan dengan Peraturanperaturan
Militer Jepang.[8][12] Berdasarkan maklumat di atas, jelas bahwa
semua hukum dan undang-undang yang berlaku pada masa kolonial Pemerintahan
Hindia Belanda tetap diakui sah oleh Pemerintah Militer Jepang, sebagai
penjajah berikutnya. Sehubungan dengan pemberlakuan Osamu Sirei Tahun
1942 Nomor 1 tersebut, maka dalam bidang hokum kehutanan tetap berlaku
ketentuan yang sudah ada pada masa kolonial Belanda, yaitu Boschordonantie atau
Ordonansi Hutan 1927 beserta dengan berbagai peraturan pelaksanaannya (Boschverordening
1932).
Pada
waktu zaman pendudukan Jepang, hampir tidak ada peraturan perundang-undangan di
bidang lingkungan hidup yang dikeluarkan, kecuali Osamu S Kanrei No. 6, yaitu
mengena larangan menebang pohon aghata, alba dan balsem tanpa izin Gunseikan.
Peraturan perundang-undangan di waktu itu terutama ditujukan untuk memperkuat
kedudukan penguasa Jepang di Hindia Belanda, dimana larangan diadakan untuk
menjaga bahan pokok untuk membuat pesawat peluncur (gliders) yang berbahan
pokok kayu aghata, alba, balsem dimana daam rangka menjaga logistik tentara,
karena kayu pohon tersebut ringan, tetapi sangat kuat.
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Hukum kehutanan di Indonesia terutama berkaitan dengan
pelaksanaan atau penegakan hokum dibidang kehutanan merupakan masalah yang
sangat penting karena hutan merupakan berkah dan titipan dari Hukum kehutanan
di Indonesia terutama berkaitan dengan pelaksanaan atau penegakan hokum dibidang
kehutanan merupakan masalah yang sangat penting karena hutan merupakan berkah
dan titipan dari Tuhan Yang Maha Esa, merupakan harta kekayaan yang diatur oleh
pemerintah, memberikan kegunaan bagi umat manusia, oleh sebab itu wajib dijaga,
ditangani, dan digunakan secara maksimal untuk sebesar-sebesarnya kemakmuran
rakyat secara berkesinambungan.
Hutan
sebagai salah satu penentu penopang kehidupan dan sumber kemakmuran masyarakat,
semakin menurun keadaannya, oleh sebab itu eksistensinya harus dijaga secara
terus-menerus, agar tetap abadi, dan ditangani dengan budi pekerti yang luhur,
berkeadilan, berwibawa, transparan, dan professional dan baertanggung jawab.
3.2.Saran
- Disarankan agar pemerintah perlu meningkatakan pelaksanaan dan penegakan hokum dibidang kehutanan meliputi profesionalisme sumber daya manusia, koordinasi, dan pengawasan antar instansipemerintah lainnya, dengan upaya-upaya yang direncanakan dan dibuat secara baik dan dapat dilaksanakan
- Disarankan agar pengusaha hutan mengoptimalkan kapabilitas ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mendukung pengelolaan dan pemanfaatan potensi hutan di Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
https://www.google.com/search?q=pengertian+pengelolaan+hutan+menurut+UU&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a
Tidak ada komentar:
Posting Komentar